Menjadi moderator dalam The 11th 2025 International Conference on Education and Technology (ICET) pada Selasa, 9 September 2025 di Hotel Swiss-Belinn Malang adalah sebuah pengalaman yang akan selalu saya kenang. Sejak awal, saya sudah merasa antusias sekaligus sedikit gugup karena ini bukan sekadar konferensi biasa, melainkan ajang internasional yang dihadiri para pakar pendidikan dan teknologi dari berbagai negara. Ditambah lagi, acara berlangsung secara hybrid dengan lebih dari 250 peserta luring dan daring, sehingga tantangan untuk menjaga dinamika acara semakin terasa nyata.
Empat narasumber yang hadir benar-benar membuat sesi ini kaya perspektif. Saya kagum ketika Prof. Tzu-Hua Wang, Ph.D. dari Taiwan menyampaikan materinya secara virtual tentang AI-enhanced Dynamic Assessment System for Junior High School Biology Learning. Dari Malaysia, Assoc. Prof. Dr. Wan Marzuki Bin Wan Jaafar menekankan pentingnya strategi pengembangan pendidikan. Prof. Hyo-Jeong So, Ph.D. dari Korea Selatan menghadirkan insight segar terkait inovasi pembelajaran digital, dan Assoc. Prof. Iwan Kustiawan, Ph.D. dari Indonesia membahas Personalized AI for Digital Well-being dengan perspektif unik dari dunia rekayasa pendidikan. Sebagai moderator, saya merasa seperti duduk di tengah “ruang kelas global” dengan guru-guru hebat.
Yang paling saya rasakan adalah bagaimana suasana interaktif terbangun antara narasumber dan peserta. Meskipun beberapa hadir secara daring, diskusi tetap hangat dan penuh energi. Saya belajar bahwa teknologi benar-benar mampu menjembatani jarak, bahkan menghadirkan nuansa kolaborasi lintas negara yang tidak terbatas ruang dan waktu. Rasanya menyenangkan sekali melihat peserta dari berbagai latar belakang dan negara terhubung dalam satu percakapan besar tentang masa depan pendidikan.
Ada juga momen menarik ketika panitia menyampaikan hasil seleksi naskah ICET 2025. Bayangkan, dari 272 naskah yang masuk dengan total 645 penulis dari 26 negara, hanya 74 naskah (27%) yang berhasil lolos untuk dipresentasikan. Hanya peneliti dari 10 negara—Indonesia, Malaysia, Filipina, Tiongkok, Vietnam, Oman, India, Irak, Prancis, dan Taiwan—yang bisa melanjutkan ke tahap presentasi. Mendengar hal itu, saya semakin sadar betapa prestisiusnya ajang ini, dan betapa seriusnya komitmen ICET menjaga kualitas publikasi ilmiah, apalagi semua naskah terpilih nantinya akan dipublikasikan di IEEE Xplore database.
Secara pribadi, pengalaman ini membuat saya banyak belajar. Bukan hanya tentang mengelola jalannya sesi internasional dengan peserta dan narasumber yang beragam, tetapi juga tentang bagaimana mendengarkan, menyeimbangkan, dan menjaga alur dialog agar tetap hidup. Ada rasa bangga, tapi sekaligus rendah hati, bisa menjadi bagian dari percakapan global tentang pendidikan dan teknologi. Bagi saya, ICET 2025 bukan hanya sebuah konferensi, tetapi sebuah ruang belajar tanpa batas yang mempertemukan ide-ide besar dengan hati yang sama: membangun masa depan pendidikan yang lebih baik. Dokumentasi: https://drive.google.com/drive/folders/10LKZcNt7ZqqJT2Ceq9oI9PLFnYkkFRI4?usp=sharing