Beberapa hari terakhir banyak pertanyaan dari rekan-rekan kolega di Indonesia yang berminat studi lanjut di luar negeri. Saya sangat senang dengan antusias mereka untuk mengembangkan kompetensi dan profesionalismenya melalui studi LN. Namun, saya juga meyakini ada banyak pertanyaan di benak mereka yang ingin sekali dicari jawabannya, sama halnya dengan saya ketika belum berangkat. Tulisan ini saya coba sarikan dari pengalaman saya selama dua semester menjalani peran sebagai mahasiswa Ph.D di NTHU Taiwan. Semoga setelah membacanya, teman-teman lebih matang dalam mempersiapkan semua kebutuhannya.
Kuliah jenjang Ph.D atau doktoral merupakan jenjang pendidikan formal bergelar tertinggi sampai saat ini. Karena itulah tantangannya juga jauh lebih berat dibandingkan dengan jenjang sebelumnya. Saya kira hal ini terjadi baik kuliah di dalam maupun luar negeri. Karena tantangannya besar maka sebelum memulai untuk mengarunginya, penting kiranya untuk mengenal medan dan memahami aturan mainnya. Pepatah bijak mengatakan bahwa persiapkan semua senjata dan atur strategi sebelum bertandang ke medan perang.
Langsung saja, kalau ditanya apa yang paling harus dipersiapkan untuk kuliah Ph.D? menurut saya pribadi jawabannya adalah “mentality”. Dulu saya beranggapan bahasa dan biaya, namun ternyata yang lebih penting dari keduanya adalah mental baja. Mental ini dibentuk melalui proses, bukan dengan cara instan. Artinya butuh usaha, kesadaran dan kesabaran. Maka sejatinya ketika seseorang dapat meraih gelar Ph.D atau doktor pada masing-masing bidangnya, menurut saya yang paling harus diapresiasi adalah mental dirinya dalam melewati semua badai yang menghadang perjalanannya. Gelar yang bertambah baik di depan atau di belakang itu hanya bukti formal saja. Tulisan di jurnal-jurnal top itu hanya buah dari kerasnya proses pengasahan mental selama studi. Maka luaran yang sejati adalah kepribadian yang matang sebagai akademisi yang mampu berpikir, bertindak dan merasa serta berprasangka sesuai batas-batas kebenaran yang disepakati pada semua dimensi.
Orang-orang yang berani keluar dari tembok pembatas dirinya, berani mendobrak kekurangannya baik dalam hal kemampuan bahasa, maupun finansial, sehingga ia belajar dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh standar minimal, itu sudah bukti awal bahwa dirinya adalah pejuang. Begitu pun ketika mereka berselancar berhari-hari mencari kampus yang paling tepat untuk dirinya, mencari profesor yang berkenan membimbing risetnya, mencari sumber pendanaan untuk membiayai kebutuhan studinya juga bukti bahwa mereka adalah orang-orang dengan mental mantul. Tentu dalam prosesnya ada gagal, ada penolakan, atau diabaikan, tapi yang berhasil melewatinya adalah mereka para pemimpi dengan mental yang handal.
Setiap orang memiliki pengalaman ikhtiar yang berbeda-beda, saya sendiri untuk menemukan kampus, jurusan, profesor yang mau menerima dan membimbing riset saya butuh waktu berbulan-bulan secara khusus untuk mencarinya. Teman saya bahkan mengirimkan puluhan email ke kandidat professor yang mau membimbing risetnya. Walaupun hanya sebagian kecil yang meresponsnya. Ada juga yang proses itu mudah tapi proses mencari sponsor yang membiayai studinya yang relatif susah. Intinya dalam proses persiapan pun masing-masing punya cerita dan tantangan tersendiri. Yang berhasil adalah mereka yang tidak berhenti.
Yang kedua yang harus dipahami oleh para pejuang Ph.D adalah kebiasaan “homework”, yang saya maksud bukan PR di sekolah atau tugas rumah dari guru atau dosen ya. Tapi riset yang matang untuk persiapan. Riset yang saya maksud bukan riset untuk penelitian tugas akhir kita tapi riset untuk persiapan studi. Lakukan secara mandiri agar puas, jangan terlalu gampang bertanya (bukan tidak boleh) tapi akan lebih matang jika kita banyak baca dulu atau menyimak cerita orang lain dulu, cari informasi dulu secara maksimal, baru jika menemukan masalah yang tidak bisa dicari solusinya secara mandiri kita bertanya kepada orang lain. Menurut saya kebiasaan ini sangat berguna, bahkan ketika kita sudah berangkat studi. Kemampuan dan kebiasaan menyelesaikan masalah diri sendiri secara mandiri menunjukkan kematangan dan kemerdekaan diri kita. Kita tidak terbiasa tergantung kepada orang lain. Walaupun faktanya kita membutuhkan orang lain namun tidak secara langsung. Mengapa saya bilang kebiasaan “homework” itu penting? berdasarkan pengalaman saya ketika beberapa kali mengikuti seminar beasiswa, itu sifatnya hanya untuk memotivasi saja, namun praktiknya kita yang harus melakukan sendiri. Akan terasa puas jika kita dapat mencapai yang kita tuju dengan usaha sendiri. Persis pengalaman waktu saya mencari professor yang mau bimbing saya sekaligus mencari kampus tujuan. Saya kirim email ke Prof A di kampus X, tidak ada tanggapan, saya kirim email ke Prof. B di kampus Y ada tanggapan namun tidak sampai deal, dan akhirnya saya diterima Prof C di kampus Z yang ternyata kampus Z ini dari sisi rangking lebih bagus dari kampus Y dan X. Walaupun studi Ph.D bukan tentang gengsi kampus, namun kembali lagi tentang bagaimana kita bisa berhasil melewati semua aturan main selama studi.
Lalu apa yang harus kita lakukan secara mandiri? tentu semua hal, dari mulai penentuan negara tujuan, mengapa negara tersebut, kapan target berangkat, target kampus, mengapa harus kampus tersebut, target department, mengapa department tersebut? siapa professor pembimbing, mereka harus A, B, C? bagaimana cara pendekatannya, topik riset yang mau dilakukan selama studi, plan A, B, C, menurut saya penting kita menyiapkan beberapa alternatif topik, karena dalam kenyataannya bisa saja plan A kita tidak memungkinkan untuk dilakukan. Misalnya karena pandemi seperti saat ini, sehingga kita harus matang dalam persiapan.
Pertanyaan berikutnya yang harus kita miliki jawabannya adalah kemampuan bahasa kita, jika masih kurang bagaimana cara meningkatkannya, berapa lama waktu yang kita miliki untuk persiapan. Lalu masalah biaya, ini juga tidak kalah penting, kita harus tahu kebutuhan selama studi, dari mana sumbernya, bagaimana cara mendapatkannya, adakah sumber lain sebagai alternatif, semua harus matang dipersiapkan. Jangan lupa kita juga harus punya rencana tentang keluarga, khususnya yang sudah berkeluarga, apakah ada rencana dibawa, bagaimana caranya, bagaimana biayanya, dan juga bagaimana dukungan keluarga besar kita berkaitan dengan rencana studi Ph.D. Mungkin ini agak gender centris, tapi bagi teman-teman perempuan yang sedang memiliki anak kecil atau sedang berencana punya program anak, mungkin perlu dipertimbangkan bagaimana pengaturannya agar semua berjalan dengan lancar. Tentu memiliki anak bukan halangan, karena faktanya banyak pejuang Ph.D sambil mengurus anak-anaknya, dan mereka tetap sukses, namun ada juga yang kemudian harus memilih antara studi atau anak apakah dengan keputusan cuti atau kasus fatalnya berhenti studi. Intinya persiapkan sedemikian rupa agar semua berjalan seolah-olah normal tanpa kendala. Walaupun faktanya mungkin tidak demikian adanya.
Yang ketiga adalah roadmap atau peta jalan yang akan dilakukan selama menyelesaikan program Ph.D kita. Harus dipahami bahwa studi Ph.D itu sangat membutuhkan pengaturan dan pengendalian diri yang baik. Kita tidak lagi bisa selalu bergantung kepada orang lain. Kitalah yang menjadi motor, pilot, masinis, dan driver untuk diri kita. Professor adalah orang tua kita yang akan membimbing, namun beberapa keputusan penting terkait dengan studi kita maka diri kitalah yang harus menentukannya. Apalagi berkaitan dengan proses kuliah, mengerjakan tugas, menulis paper, riset, publikasi, semua sangat dipengaruhi oleh pengaturan dan pengendalian diri. Maka, sebaiknya perlu belajar bagaimana menata waktu, target, kegiatan, jadwal harian secara baik agar terbiasa ketika kita menjalani peran sebagai pejuang Ph.D. Sikap sering bergantung kepada orang lain, perlu dikikis agar tidak menjadi kerikil yang mengganggu perjalanan kita. Perencanaan dan pengelolaan itu penting walaupun dalam praktiknya ada kesemrawutan dalam keteraturan maupun ketidakteraturan. Tapi prinsipnya adalah perencanaan yang baik adalah setengah dari kesuksesan seutuhnya.
Demikian untuk sementara, semoga bermanfaat, sampai jumpa di seri berikutnya (insyaAllah).
Hsinchu, 11 Sept 2021