Tulisan ini akan bercerita tentang pengalaman saya berkunjung ke Museum Da Shan Bei, salah satu sekolah di daerah pegunungan pinggiran Kota Hsinchu. Sekolah yang berdiri sejak 1923-1983 M sejak jaman Jepang menduduki Taiwan. Sayangnya sekolah ini harus tutup tahun 1983 dikarenakan jumlah siswa yang semakin sedikit. Pada masa keemasannya jumlah siswa mendekati 300an, namun pada akhir eksistensinya tinggal 8 siswa dan akhirnya ditutup.
Saya berkunjung ke tempat ini atas undangan dari dosen salah satu mata kuliah yang saya ambil semester ini. Kami berangkat berlima dari kampus Nanda, dan satu teman kelas kami sudah langsung ke lokasi menggunakan sepeda motornya. Kami berangkat jam 08..45 sampai di lokasi sekitar jam 9.30 waktu setempat. Kami menaiki mobil legend milik dosen. Alhamdulilah senangnya, kami bisa sedekat ini dengan dosen dan teman kelas. Bahkan dosen kami sendiri yang mengendarai mobilnya.
Jalan menuju lokasi sangat menarik, berupa tanjakan yang berkelok, namun kualitas jalannya tidak perlu diragukan, hanya perlu hati-hati karena tidak terlalu lebar. Pemandangan sepanjang jalan sangat memanjakan mata. Apalagi ketika sudah memasuki area pegunungan, kami disambut dengan bunga-bunga putih yang berjatuhan di sepanjang jalan. Sungguh mengesankan.
Sesampainya di lokasi kami disambut oleh pengelola lokasi. Kebetulan beliau termasuk OBK, namun semangat dan visi serta filosofi hidupnya sangat saya kagumi. Waktu kami sampai pintu masih tertutup, apalagi cuaca sedang mendung, kabut tebal menyelimuti, menambah kesan klasik sekaligus horor.
Setelah masuk pelataran, saya mulai bisa merasakan bagaimana kesan klasik dari tempat ini. Saya kemudian membayangkan gambaran aktivitas sekolah tahun 1923an, bagaimana seragam siswanya, bagaimana bentuk bangunan asli pada awalnya, serta bagaimana proses belajar dan pembelajarannya. Pikiran saya mencoba mengimajinasikan semua itu. Saya melihat halaman yang cukup luas, saya kemudian teringat proses ketika sekolah di SD dulu. Secara umum sekolah ini tidak terlalu besar, hanya ada sekitar 6 ruangan utama. Sesuai peruntukkan jumlah kelas di SD. Ukuran kelasnya sekitar 8×6 m2.
Saya kemudian berjalan diselasar ruang kelas, saya menemukan beberapa gambar foto aktivitas anak-anak, saya kira itu dokumentasi aslinya, rupanya itu hanya dokumentasi pengunjung tahun 2015 lalu, karena fotonya sudah berwarna. Di dinding kelas dipenuhi pigura foto para pengunjung. Kemudian kami masuk ke salah satu ruang kelas, di dalamnya ada meja, kursi, papan tulis berwarna hitam, dan yang menarik adalah lantai dari bahan tegel serta atap langit-langitnya yang penuh dengan dekorasi gambar. Saya tidak tahu apakah ini situasi aslinya atau hasil inovasi dari pengelola sekarang.
Setelah agak puas keliling lokasi, kemudian kami masuk ruang utama untuk mendengarkan pemaparan materi dari pengelolanya. Kebetulan pengelolanya adalah alumni program master dari NTHU jurusan service science. Beliau menceritakan beberapa hal penting tentang sekolah ini, dari mulai sejarah, kemudian proses pengambilalihan untuk dikelola serta proses pengelolaan agar bisa berdampak. Saya takjub, karena beliau memaknai pengelolaan museum ini sebagai proses membangun startup. Sehingga waktu presentasi beliau menyajikan tema tentang tiga pelajaran penting dari startup yang dibangunnya.
Pengelola memulai presentasinya dengan memperkenalkan nama musieum yang mengandung banyak arti. Nama utamanya adalah Da Shan Bei yang artinya gunung besar, kemudian disingkat menjadi DSB. Namun, DSB itu kemudian diturunkan dalam beberapa kata lain yang penuh arti, sehingga DSB tidak lagi hanya sekedar nama, melainkan filosofi dasar yang menurunkan banyak arti. Beberapa kata lain yang diturunkan dari DSB antara lain diverse species Bio-system, delicious secret bread, delicate souvenir buying, deep slow breath, dating someone beloved, devine spiritual blessing, delighted simple break, drik selected baverage, different sesonal beauty, decrease & save budget, Delicacy Self-served bazaar, Distinguished Stunning Buddi Temple, desigend suburb banquet, diserve something better, dear sweet baby, design story book, discover streams & bridges, decompress stress B&B, dan lain-lain.
Semua makna kata di atas beraura positif sesuai dengan situasi di lokasinya. Di sini selain kita bisa melihat semua kenangan tentang sekolah jaman dulu Taiwan, juga dapat menikmati sajian menu khas yang diracik sendiri khusus untuk pengunjung lokasi. Sop daging dengan pilihan menu daging kambing dan daging paling populer di Taiwan. Juga ada mochi serta teh khas yang diracik dengan petani sekitar. Sayangnya saya tidak bisa menikmati hidangan tersebut karena sedang berpuasa Ramadhan hari kedua.
Selain bisa makan-makan, para pengunjung juga bisa menikmati musik tradisional yang dimainkan langsung oleh artisnya khusus untuk para pengunjung. Kemudian para pengunjung juga bisa memesan kopi khas lokasi setempat. Saya juga tidak menyangka tempat sesederhana ini namun memiliki nilai yang tinggi. Ini tidak lepas dari kreativitas para pengelola dalam meningkatkan layanan dan kenyamanan pengunjung.
Di lokasi ini juga kita bisa camping, mereka menyediakan area camping di lantai 2. Tenda sudah tersedia tinggal sewa saja. Yang menarik adalah area halaman depan pernah digunakan untuk melakukan pertunjukan musik, dan juga terbuka untuk acara pernikahan outdoor dengan konsep yang sederhana dan suasana alam.
Hal yang menarik dari lokasi ini adalah kolaborasi, pengelola dengan petani sekitar mencoba meningkatkan nilai tambah hasil pertanian sehingga beberapa jenis manisan dan selai jeruk mereka sediakan untuk souvenir para pengunjung. Pada musim tertentu konon para pengunjung dapat membeli secara langsung hasil panen para petani.
Hal lain yang menjadi daya tawar para pengunjung adalah jogging track dan area bermain outdoor. Suasana alam menjadi pilihan terbaik untuk para penikmat kegiatan alam bebas. Pada akhir pekan biasanya banyak kunjungan dari siswa sekolah sekitar. Hari ini pun selain kami, banyak orang tua yang sudah pada pensiun hadir menikmati masa-masa tuanya.
Sejarah singkat mengapa sekolah ini ditutup karena dampak urbanisasi, para penduduk lokal memilih pindah ke tengah kota, ada yang di Hsinchu, ada juga yang ke kota lain seperti Taipei. Hal itu sangat rasional mengingat hidup di pegunungan memiliki banyak kelebihan sekaligus kekurangan, sebagai contoh untuk mendapatkan semua kebutuhan harian yang tidak ada di alam, maka harus mendapatkannya dari kota, butuh biaya yang tidak sedikit. Di samping itu pekerjaan yang tersedia mungkin tidak banyak pilihan. Sehingga bekerja di kota menjadi pilihan terbaik mereka.
Ada cerita menarik dari cerita masa lalu sekolah ini berdasarkan penuturan dari pengelola. Dulu orang tua lebih menyarankan anak-anaknya bekerja ke kebun atau ke sawah dibandingkan sekolah. Hal ini persis sama dialami oleh generasi kakek bahkan ibu saya. Anak-anak ditugaskan untuk memelihara ternak seperti kambing dan kerbau. Atau anak dewasa ditugasi menjaga adik-adiknya selama orang tua pergi bekerja di sawah. Hal itu menjadi faktor yang menyebabkan susahnya anak datang ke sekolah. Akhirnya kepala sekolah memiliki kebijakan yang sangat baik. Kepala sekolah mendatangi orang tua siswa, dan mengatakan bahwa anak dan kerbaunya sekalian dibawa ke sekolah, termasuk adik-adik yang masih kecil. Pada saat jam belajar, kerbaunya diikat di depan pelajaran sekolah, sedangkan adik-adiknya diajak main oleh ibu kepala sekolah. Sehingga sekolah bukan hanya tempat belajar tapi juga tempat bermain, dan tempat hewan ternak. Itulah usaha dan dedikasi dari guru dan kepala sekolah demi kemajuan sumber daya manusia yang sangat patut diacungi jempol.
Demikian, cerita yang bisa saya tuliskan, semoga bermanfaat, bagi pembaca yang budiman, siapa tahu ada kesempatan untuk berkunjung ke lokasi ini. Oh iya, satu lagi, karena manajemen yang baik, akhirnya lokasi ini masuk TV dan pengelolanya pernah berbicara di forum TED Taiwan. Teman-teman bisa mencarinya di Youtube. Dokumentasi pendukung cerita ini bisa dilihat di IG Story saya @encesurahman dengan highlight DaShanBei. Sampai jumpa di cerita selanjutnya.