Para pembaca yang budiman, tulisan ini saya buat bertujuan untuk kembali mendiskusikan sebuah diskursus yang mungkin masih menjadi bahan perdebatan di kalangan mahasiswa dan para sarjana muda. Terlepas dari luasnya perbedaan pendapat yang teman-teman pernah temui, ijinkan saya bercerita dari perspektif saya sendiri. Tulisan ini dapat dikatakan sebagai sebuah studi kualitatif jangka panjang yang saya alami sejak jenjang pendidikan terendah sampai tertinggi yang sedang saya jalani. Semua isi tulisan ini bersifat sangat subjektif, maka saya tidak akan memaksa semua pembaca untuk setuju dengan apa yang saya uraikan. Namun jika ada pesan positif yang dapat diambil silakan dipetik semoga bermanfaat.
Tahun 1996 saya memulai masa pendidikan terendah saya di kelas 1 SD Negeri Cikaramat yang kemudian berubah nama menjadi SDN Mekarmulya III. Artinya sekolah SD negeri ketiga yang berada di desa kami saat itu. Sekolah itu bukan sekolah unggulan, hanya sekolah terdekat dari rumah. Jaraknya sekitar 1-2 KM dari rumah. Kami berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki sekitar 8-10 menit. Sekolah ini juga lokasinya bersebelahan dengan masjid tempat biasa kami belajar ilmu agama seperti membaca qur’an, fiqih dan lain-lain. Ketika saya memasuki kelas 1 SD, saya adalah salah satu dari 16 siswa dikelas itu. Ada 6 siswa laki-laki dan 10 siswi perempuan. Saya berusaha untuk mengingatnya. Teman siswa saya berinisial Fe, So, Pi, On, dan De. Sedangkan teman perempuan saya berinisial Ro, Ha, Re, Su, Ri, Wa, Er, Le, Em, dan De. Saya doakan semoga semuanya dalam keadaan sehat dan bahagia tanpa kekurangan sesuatu apa pun.
Ketika pertama memasuki kelas 1 kala itu, saya sempat merasa tidak percaya diri, saya belum menyadari keunggulan saya, karena sejak kecil saya pemalu, saya cenderung pendiam dan hanya berteman dekat dengan teman-teman yang lebih akrab sebelumnya. Di kelas pun saya duduk di kursi paling belakang. Di pojok sebelah kiri dekat pintu akses ke kelas II. Saya duduk di situ karena saya memang bukan anak yang percaya diri pada mulanya. Setiap guru mengajarkan kami menulis dan membaca saya lihat teman-teman lain ada yang lebih berani untuk aktif menanggapi guru. Seiring berjalannya waktu, saya mulai beradaptasi, saya mulai memberanikan diri untuk ikut aktif, berusaha untuk berani maju ke depan kelas ketika diminta menulis, berhitung dan membaca. Jangan dikira ketika pertama masuk kelas, kami semua sudah pada bisa membaca karena kami tidak pernah mengalami pendidikan TK atau pra sekolah seperti anak-anak di kota. Kebanyakan kami sama-sama belajar dari 0. Guru kami mengajar kami secara klasikal. Kecepatan kami dipengaruhi oleh kemampuan kami masing-masing dalam menyerap pelajaran. Kami tidak mengenal les dan privat tambahan setelah pulang sekolah seperti anak-anak di kota.
Setelah beberapa pekan, saya mulai merasa nyaman, kenal dengan teman, mulai tidak canggung dengan guru, alhasil saya mulai menyadari bahwa kecepatan belajar saya termasuk bagus, dan di atas rata-rata. Sampai kemudian catur wulan pertama saya mendapatkan rangking 1 di kelas. Dan mulai pada catur wulan berikutnya saya semakin menyadari kemampuan otak dan daya serap sama daya ingat saya. Waktu itu seperti biasa guru menulis satu paragraf cerita pendek di papan tulis, kemudian kami masing-masing diminta menyalin pada buku masing-masing lalu berusaha untuk membacanya, dan secara bergiliran maju ke depan untuk membacanya. Ketika teman-teman masih berusaha untuk mengeja setiap kata demi kata, saya telah dapat menghafalnya hanya dalam hitungan beberapa kali membacanya. Itulah titik pertama saya menyadari anugerah yang Allah berikan dalam kemampuan otak saya. Hal itu terus berlanjut pada materi perkalian, di mana kami harus menghafal perkalian 1-5. hal yang sama terjadi, guru akan menuliskannya di papan tulis, lalu kami menghafal dan menalarnya di depan kelas. Ketika teman-teman kami masih harus berdiri di depan kelas karena belum lancar, saya dengan cepat telah menghafalnya bahkan saya melanjutkan ke perkalian berikutnya setelah mengerti polanya. Sejak saat itu tingkat percaya diri saya semakin tinggi, saya tidak malu lagi untuk membantu guru menuliskan apa pun di depan kelas. Semua pengalaman itu masih teringat dengan jelas dalam ingatan hingga tulisan ini dibuat. Saat ini bangunan sekolahnya sudah diubah, namun bayangan saya masih dalam memvisualisasikannya dengan jelas pada setiap sudut kelas, pada setiap tempat duduk kami, pada setiap gelak tawa kami, pada setiap raut muka guru ketika senang karena siswanya telah menguasai tujuan pembelajaran hari ini, atau wajah kurang puas dengan capaian anak didiknya.
Singkat cerita saya semakin merasa nyaman belajar di kelas, saya dapat mengatasi setiap kesulitan belajar, saya dapat mengerjakan semua tugas yang saya dapatkan, semua pekerjaan rumah yang diberikan guru. Dan alhamdulillah nilai saya selalu bagus. Hampir setiap hari pulang lebih awal ketika guru mengakhiri kelasnya dengan kuis soal-soal harian. Saya dapat menjawab lebih awal soal yang diberikan. Sampai akhirnya selama 6 tahun di SD saya selalu juara 1, kecuali pada catur wulan 1 kelas 3. Saya pernah juara 2, namun selain itu saya selalu menempati posisi pertama di kelas. Setiap acara samen (kenaikan kelas) saya selalu dipanggil maju ke depan kelas untuk menerima hadiah berupa buku tulis satu lusin, pensil, pulpen, mistar dan penghapus. Anda bisa menebak bagaimana rasanya waktu itu, Selain hadiah bukunya tapi juga bisa membuat orang tua tersenyum dengan capaian anaknhya. Buku hadiah yang saya dapat saya gunakan untuk mencatat pelajaran pada satu tahun berikutnya hehehe. Benar-benar budaya mencatat dan menghafal telah mengakar pada proses pembelajaran kala itu, semoga hari ini para guru telah banyak berinovasi untuk lebih banyak melatih para siswanya dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Kisah yang terjadi di kelas 1 SD sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas, juga terulang pada waktu saya melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Waktu itu saya mendaftar di SMP Negeri Talegong yang berlokasi di ibu Kota Kecamatan. Jarak dari rumah lumayan jauh kurang lebih 10-12 KM. Untuk sampai di sekolah, kami harus menaiki kendaraan umum selama kurang lebih 20-25 menit. Namun sebelum menaiki kendaraan umum tersebut, saya harus jalan kaki dulu selama kurang lebih 50-60 menit. Ini momentum yang sangat menantang, saya harus bangun subuh, berangkat jam 4 pagi, menggunakan obor sebagai penerangan, kadang salat subuh di salah satu masjid daerah Cibinong, atau Cikadu. Pada waktu jembatan yang biasa kami lewati terbawa banjir bandang, akhirnya kami harus mencari jembatan lain yang lebih jauh, atau harus menyeberang sungai dengan kedalaman setinggi dada. Pembaca dapat membayangkan bagaimana kejadiannya, untung hari masih gelap. Saya dan teman saya Fe melakukan itu setiap pekan, khususnya Senin dan Sabtu. Kemudian menuju tempat menunggu mobil angkutan umum (mikro/minibus). Agar kami dapat sampai tepat waktu dan tidak terlambat, kami siswa laki-laki harus berpegangan tangan di bagian belakang dan atap mobil (sebuah fenomena yang tidak dibenarkan dalam aturan lalu lintas), namun situasi darurat memaksa kami untuk melakukan itu, karena kami tidak ingin terlambat masuk kelas. Apalagi hari Senin, kami datang harus lebih pagi untuk melaksanakan upacara berdera. Karena jarak dari rumah ke sekolah yang jauh, daripada kami harus pulang pergi tiap subuh dan petang, akhirnya kami putuskan untuk ngekos (sejak kelas 7 SMP) tahun 2002. Saya sudah resmi menjadi kontraktor (penyewa dan penghuni kontrakan). Saya masih ingat di mana lokasi kontrakannya, tempat tidurnya, ruangannya, dapurnya, semuanya benar-benar masih jelas dalam ingatan. Terima kasih kepada pemilik kontrakan yang telah mengijinkan saya menggunakan kamarnya untuk belajar, dan beristirahat.
Sebagai siswa baru di SMP pada tingkat kecamatan, saya bertemu dengan teman-teman dan jagoan-jagoan yang biasa juara kelas di sekolah dasarnya masing-masing. Saya sempat merasa minder, apalagi perawakan saya waktu itu kurus, penampilan apa adanya tidak seperti siswa lain yang bertampang lebih ngota. Tapi saya terus berusaha untuk melanjutkan cerita yang saya lewati sewaktu SD. Saya selalu berusaha untuk belajar satu langkah lebih depan, satu detik lebih cepat, satu tingkat lebih tinggi dari teman-teman di kelas. Alhasil semester pertama saya mendapatkan juara 1 dan mendapatkan nilai terbaik satu angkatan. Sejak saat itu, mulai banyak teman, mulai banyak kenalan, banyak kakak tingkat dan teman dari kelas lain yang mendekat, mau berteman, menyapa (berbeda dengan sebelumnya hahaha). Akhirnya kepercayaan diri saya kembali meningkatkan dan itu saya jaga sampai lulus. Sehingga saya selalu mendapatkan rangking 1 sampai lulus dari SMP. Banyak kenangan indah waktu di SD, misalnya terpilih sebagai ketua OSIS, bersama teman-teman mendirikan organisasi Palang Merah Remaja pertama kalinya dibantu oleh pembina dan kakak tingkat dari SMP N 1 Cisewu. Itu kenangan yang tidak kalah menarik untuk dikenang. Aktif juga di pramuka, mengikuti kegiatan pramuka tahunan. Pengalaman yang sangat berkesan. Salam hormat saya untuk bapak ibu guru yang telah mengajarkan banyak ilmu untuk saya.
Ketika saya melanjutkan sekolah ke SMA di dekat SMP, situasinya agak berbeda, karena hampir 60% teman saya berasal dari SMP yang sama dengan saya, artinya saya sudah tahu siapa yang akan menjadi teman satu angkatan. Ibaratnya saya sudah tahu medannya. Sehingga sejak pertama masuk saya sudah dipercaya menjadi ketua angkatan, kemudian ketua Majelis Permusyawaratan Kelas (MPK), lalu pada tahun ke dua saya menjadi ketua OSIS. Aktif di beberapa ekstra kurikuler seperti Kelompok Adat Pecinta Alam (KAPA), Paskibra, Broadcasting radio sekolah, Volley, Karate, Sepak bola, pengurus masjid sekolah dan lain-lain. Alhamdulillah jejak prestasi akademik saya pada tingkat sekolah masih sesuai target dan harapan. Saya masih dapat meraih gelar juara 1 sampai lulus SMA. Dan kemudian capaian itu mengantarkan saya lolos jalur Penerimaan Minat dan Bakat (PMDK) Di Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung. Salah satu perguruan tinggi negeri yang paling kami tahu waktu SMA. Karena waktu itu belum ada internet sehingga kami masih terbatas untuk mendapatkan informasi tentang perguruan tinggi yang dapat kami masuki.
Masuk sebagai mahasiswa baru di kota besar seperti Bandung benar-benar membuat saya minder, dan tidak percaya diri. Pada semester satu saya berusaha sedemikian rupa untuk lebih mudah akrab dengan teman satu kelas, satu angkatan, satu jurusan, satu fakultas dan satu universitas melalui kegiatan UKM yang saya ikuti. Saya berusaha untuk mudah bergaul agar lebih banyak teman. Akhirnya saya dapat melewati setiap tahapan, mengurangi rasa minder, dan mulai berani untuk unjuk gigi. Jujur saja semester pertama saya tidak membuat target yang jelas tentang capaian indeks prestasi saya, saya mencoba semaunya dan semampunya. Alhasil IP semester 1 hanya 3,65. Beberapa teman kelas ada yang mendapatkan nilai lebih tinggi dari itu. Akhirnya mulai semester dua saya banyak mengikuti training motivasi, membaca buku motivasi, sharing dari kakak tingkat, ikut taklim motivasi, akhirnya saya buat target IP 4 dan alhamdulillah tercapai. Demikian semester berikutnya saya berusaha untuk mendapatkan IP 4 walaupun kadang tercapai kadang tidak. Namun, saya bersyukur karena telah berani mendorong diri sendiri untuk belajar lebih cepat, lebih banyak, lebih depan, lebih lama, lebih giat agar layak diganjar nilai yang bagus. Sampai ketika akhirnya lulus, IPK saya 3.83 cumlaude.
Jujur saja pendidikan di UPI telah benar-benar mengubah banyak hal dalam diri saya. Pertama tentu mindset. Saya yang beberapa tahun sebelumnya masih memiliki mindset orang kampung yang cenderung tertinggal dari teman-teman dari kota. Saya mulai mendobrak pikiran itu, saya ingat pepatah kepala sekolah waktu saya kelulusan SMA, katanya “walaupun kita dari kampung, tapi jangan terkesan kampungan”, artinya harus gaul dengan perkembangan informasi dan ilmu pengetahuan agar bisa menyamai orang-orang kota. Di UPI saya belajar bukan hanya ilmu tentang bidang keilmuan saya, namun juga ilmu tentang pengembangan diri, ilmu tentang organisasi saya yang semakin matang sejak saya asah dari SMP. Saya aktif di beberapa organisasi, sampai puncaknya menjadi ketua organisasi tingkat universitas di bawah mata kuliah PAI yang harus menangani seluruh mahasiswa muslim pada setiap tahunnya. Di organisasi ini saya benar-benar belajar banyak tentang manajemen SDM, manajemen waktu, manajemen keuangan. Waktu itu saya mengelola uang setiap semester lebih dari 120 juta, dan saya menjadi ketua selama 3 semester. Karena waktu itu saya menjadi ketua secara cepat, biasanya ketika menginjak semester 7, sedangkan waktu itu saya menjadi ketua pada waktu saya masih semester 5. Akhirnya saya ubah momentum pemilihan ketuanya, yang biasanya semester 7 dan 8, diubah menjadi semester 6 dan 7. Untuk memastikan agar para pengurus dapat menyelesaikan studinya tepat waktu di semester 8.
Salah satu milestone saya pada jenjang S1 adalah menjadi juara 1 Mahasiswa Berprestasi 1 tingkat UPI tahun 2011, dan sekaligus menjadi mahasiswa berprestasi pertama dari jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UPI. Saya ingat, foto saya terpajang dengan ukuran yang besar dilingkungan FIP untuk beberapa bulan. Itu sebuah capaian yang membanggakan dan membahagiakan untuk ukuran anak desa yang berjuang menimba ilmu di kota besar, sehingga bisa bersaing dengan berbagai pesaing dari beberapa jurusan lain. Acchhhh itu sungguh capaian yang semakin mematangkan tingkat percaya diri saya, bahwa sejatinya kita dapat menjadi apa yang kita impikan ketika kita mau berjuang, tak peduli siapa kita sebelumnya, dari mana kita asalnya, terlahir dari rahimnya siapa, makanan apa yang dikonsumsi setiap hari. Saya berterima kasih kepada UPI, karena dengan menjadi mapres, saya mendapatkan banyak kesempatan untuk duduk dalam forum rapat pimpinan kampus, itu pengalaman berharga yang saya dapatkan selain gelar sarjana yang kemudian saya raih.
Modal pengalaman pada jenjang S1 pula yang mendorong saya untuk berani melangkah lebih jauh untuk menimba ilmu pada jenjang magister di kota nan jauh di sana, di Jogjakarta. Kota pelajar yang menjadi destinasi pelajar dari seluruh Indonesia. Agustus 2014 saya mengendarai sepeda motor dari Bandung dengan tas besar yang saya beli di Pasar Jatayu Bandung. Tas besar di belakang yang berisi pakaian dan semua kebutuhan selama di Jogja. Saya hari ini tidak menyangka, waktu itu dapat melewati batas diri untuk berkendara selama kurang lebih 12 jam (sekitar 367 KM) melewati sejuknya, panasnya, debu jalanan dari Bandung ke Jogja via jalur selatan, Bandung, Garut, Tasik, Ciamis, Banjar, Kebumen, Tegal, Purworejo, Wates sampai akhirnya Jogja.
Jogjakarta benar-benar mengajarkan banyak hal dan menyisakan banyak kenangan indah. Hidup di kultur Jawa yang sangat kental dengan adat budaya, saya benar-benar jatuh cinta dengan keindahan manusianya, alamnya, pantainya, tempat wisatanya, tata kotanya, terjangkau harganya, namun sedikit tidak tahan dengan panasnya. Kuliah di UNY telah menjadi lompatan besar dalam hidup saya. Jenjang master menjadikan pola pikir, pola rasa, dan pola karsa saya semakin berkembang. Keseimbangan antara belajar, riset, berorganisasi, dan bermain benar-benar telah menjadi sangat sempurna. Walaupun IPK saya tidak 4, namun saya telah melewati batas-batas diri untuk dengan bangga menjadi lulusan tercepat satu angkatan dengan predikat cumlaude yang lulus dalam durasi 22 bulan dengan IPK 3.94. Ada satu mata kuliah yang nilainya tidak A yakni bahasa Inggris. Saya telah berusaha namun memang skor prediksi TOEFL saya belum mencapai minimal skor untuk layak mendapatkan A. Tapi saya bersyukur karena dengan begitu saya semakin menyadari kekurangan saya yang harus perbaiki, dan kemudian dengan berbagai upaya dan ikhtiar, tulisan ini dibuat ketika saya sedang menempuh studi jenjang doktor di Taiwan dan bahasa Inggris sebagai pengantarnya. Walaupun hari ini bahasa Inggris saya masih ala kadarnya, namun saya merasa bahwa setiap tahun selalu ada perkembangan ke arah yang lebih baik. Dan itulah prinsip hidup yang saya pegang. Tidak harus selalu menjadi nomor 1, namun berusahalah untuk selalu lebih baik sesuai ajaran nabi. Saat ini saya baru selesai semester 3, dan alhamdulillah hampir semua nilai saya A+, hanya ada satu yang A, itu pun nilai tertinggi di kelas itu, Professornya tidak memberikan nilai lebih dari A termasuk teaching assistantnya. Jadi saya cukup puas dengan capaian itu, dan juga sebagai cerminan, bahwa saya harus terus belajar pada bidang yang terkait dengan mata kuliah tersebut. Saat ini IPK saya 4.27 dari skala 4.3. Sebuah capaian yang di luar ekspektasi saya. Saya hanya menargetkan minimal 4.0, dan alhamdulilah diberi lebih.
Mungkin ada yang bertanya, kok bisa nilainya hampir A+ semua? apakah dosennya murah memberikan nilai? atau mata kuliahnya yang tidak menantang? jujur saja, saya tidak tahu jawaban pastinya. Namun saya punya argumentasi. Untuk asumsi pertama bahwa dosennya yang murah memberikan nilai, sepertinhya tidak juga, buktinya persentase yang mendapatkan nilai A+ cenderung minoritas, karena menyebar dari A- ke A+ dengan dominasi pada grade A dan A-. Untuk mata kuliah yang tidak menantang sebenarnya ini sangat keliru, karena berdasarkan pengalaman saya semester 1-3, saya harus bergadang bermalam-malam untuk mengerjakan tugas, membaca dan mereview paper, menyiapkan presentasi dengan baik, mendesain aktivitas ketika diskusi. Apalagi waktu mengerjakan tugas-tugas akhir di semester 3, wah itu benar-benar titik klimaks perjuangan yang saya lakukan. Saya beberapa malam harus tidur jelang atau bada subuh, kemudian jam 8 harus bersiap ke kelas berikutnya. Intinya penuh onak dan duri. Tidak semudah yang dibayangkan, jika tidak percaya boleh dicoba, mungkin bagi yang lain akan lebih mudah, sama sulitnya atau bahkan lebih sulit. Tentu perjalanan studi PHD saya masih panjang, ada kewajiban lain yang harus saya lewati, riset, dan publikasi pada jurnal terindeks SSCI ini merupakan tantangan yang tidak kalah berat. Namun, saya yakin dan memang harus yakin, semua ada jalannya, ketika ada niat dan tekad serta usaha yang bersungguh-sungguh.
Tapi saya mau berbagi sedikit cerita mengapa saya bisa dapat A+, karena saya belajar menggunakan strategi dari mulai proses perencanaan mata kuliah setiap semester, pemilihan mata kuliah pada semester berjalan, pengaturan waktu yang tersedia, pengerjaan tugas, cicilan kewajiban dan lain-lain. Semuanya bisa teman-teman baca pada beberapa cerita saya di blog ini. Saya yakin jika kita telah memahami standar kompetensi yang disyaratkan pada silabus oleh dosennya, maka kita dapat mengatur strategi belajarnya. Kadang kita perlu membuat rancangan belajar harian, mingguan, dan bulanan. Saya menggunakan aplikasi untuk mengontrol aktivitas belajar harian saya. Sehingga setiap hari ada yang saya kerjakan selain kuliah, yakni mempelajari materi sebelum ke kelas, mereview materi setelah kuliah, mencatat hal-hal penting seperti yang saya lakukan pada setiap mata kuliah. Jika itu semua dilakukan, saya yakin, kita dapat melewatinya dengan baik walaupun bukan berarti mudah. Tetap ada perjuangan yang berdarah-darah. Tapi membagi alokasi itu menurut saya penting.
Sekarang kita masuk ke pertanyaan inti? apakah nilai dan IPK itu penting? jujur bagi saya itu sangat penting. Memang benar angka dan grade itu tidak berdampak langsung pada masa depan dan takdir kita, namun apa yang telah kita lakukan dalam proses untuk mendapatkan kompetensi yang terbaik itu adalah sisi lain yang akan menjadi modal penting bagi kita ke depannya, jadi apa pun itu. Saya yakin anak-anak yang mampu mencapai nilai dan IP yang bagus, pasti mereka memiliki daya juang lebih baik, sikap yang lebih baik, tidak mudah menyerah, berani banyak mengisi waktunya dengan hal-hal yang bermanfaat, memastikan hari-harinya untuk tetap produktif, menghindari aktivitas yang tidak berdampak pada peningkatan kompetensinya. Itu semua yang akan menjadi teman dekat kita pada waktu memasuki kehidupan pasca kampus. Di dunia kerja, apa pun bidangnya, pasti selalu dituntut kemampuan untuk cepat beradaptasi, ada kompetisi, ada penilaian kinerja, adanya tuntutan untuk berprestasi, adanya keharusan untuk berjuang, untuk tidak mudah menyerah, untuk tidak gampang mengeluh, dan jika dari kecil kita telah dapat melewati semua itu, maka di mana pun kita berada, kita dapat melewatinya dengan baik. Masalah sebesar apa pun yang dihadapi, kita dapat menyelesaikannya dengan baik. Bahkan sikap dan keterampilan itu juga akan diperlukan ketika kita membina rumah tangga, membangun bisnis dan usaha, termasuk ketika menjadi bawahan maupun atasan. Jadi yang mau saya tekankan adalah jika kita menganggap remeh (tidak penting) nilai dan IPK, dan kita tidak dapat memperoleh nilai dan IPK yang bagus, maka bagaimana kita dapat menyelesaikan masalah dan perkara yang lebih besar (penting), sedangkan pada perkara yang kita anggap tidak penting saja, kita tidak dapat menyelesaikannya. Sampailah saya pada satu kesimpulan, apa yang saya capai hari ini, adalah buah akumulasi dari usaha yang telah dilakukan sejak dahulu kala, termasuk do’a, dukungan dari keluarga, para guru, dosen, teman-teman, kolega dan tentu atas ijin-Nya. Tetaplah berjalan pada jalur mimpi-mimpi kita, jangan pernah menyerah apa pun rintangannya. Yakinlah bahwa ketika ada kemauan pasti ada jalan, sekalipun orang lain meragukannya. Demikian semoga para pembaca dapat menangkap maksudnya. Sampai jumpa pada tulisan berikutnya.
Salam hangat dari kota Hsinchu yang sedang dingin
Hsinshu, 9 Februari 2022 (00.22)